Saat itu aku masih sekolah di salah satu STM Negeri di kota kelahiranku : Semarang. Selepas pulang sekolah, aku dan beberapa teman sekelas pergi memancing ikan disekitar pantai Marina Semarang. Kami bawa beberapa peralatan memancing, umpan berupa cacing dan juga apotas yang biasa buat ikan mabok.
Dengan sepeda kami berangkat menuju ketempat yang telah kami rencanakan. Setibanya ditepi pantai kami mulai rame-rame memancing. Waktupun terus berlalu, tapi tak satupun umpan dipancing kami yang termakan ikan. Akhirnya kami putuskan pindah lokasi dan mulai mencari ikan disekitar pantai tersebut yang masih berupa rawa dan bekas tambak yang telah tersapu rob jika air laut pasang. Benar juga kalau disekitar rawa-rawa situ terutama selokan didekatnya lumayan banyak ikannya terutama ikan gabus, mujahir dan sepat. Maka kamipun mulai beraksi memancing ikan-ikan ditempat itu. Karena dengan memancing dapatnya dirasa lama dan sedikit maka kami putuskan mengapotas selokan tersebut. Maka dengan mudah kamipun mengambil ikan yang telah mabok tersebut satu persatu sampai habis hingga mendapat hampir satu ember besar.
Ketika kami masih sibuk mengambil ikan, mataku tertuju pada seekor kepiting besar yang melintas dan masuk kedalam sebuah lubang. Iseng-iseng kami mengambil sebatang bilah bambu kecil yang kebetulan ada disitu , mengikatkan tali diujungnya lalu diujung tali itu kami mengikat sebuah batu kecil. Kemudian kami ayunkan bambu itu agar batu di ujung tali terayun menuju kepiting yang kami incar. Kami mengganggu kepiting itu dengan batu, menyentak dan menyentak sehingga membuat kepiting itu marah,. Tak lama kemudian kepiting ‘mencengkeram’ batu itu dengan kuat karena merasa terganggu. Lalu kamipun mengangkat bambu dengan ujung tali yang masih tergantung seekor kepiting gemuk yang sedang marah. Dengan mengayunkan secara perlahan bambu itu kami masukkan kepiting itu kedalam kantong kresek yang telah kami siapkan.
Sesudah itu kami bergegas pulang karena hari telah beranjak senja. Sesampai dirumah temanku kamipun mulai mengolah hasil pancingan kami tersebut. Ibu temanku menyiapkan kompor dan alat penggorengan berupa wajan besar yang telah dituang minyak goreng yang mulai panas. Aku dan temanku yang lain membersihkan ikannya. Termasuk kepiting tadi dan terlihat masih saja mencengkeram batu yang kami gunakan untuk menggodanya tadi. Sesudah itu kami celupkan kepiting yang sedang murka itu ke dalam wajan tersebut. Seketika Kepiting itu melepaskan gigitan-nya dan tubuhnya menjadi merah. Tak lama kemudian kami bisa menikmati kepiting goreng yang sangat lezat.
Kepiting itu menjadi korban santapan kami karena kemarahannya, karena kegeramannya atas gangguan yang kami lakukan melalui sebatang bambu, seutas tali dan sebuah batu kecil.
Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari satu pengalaman sederhana ini?
Kita sering sekali melihat banyak orang jatuh dalam kesulitan, menghadapi masalah, kehilangan peluang, kehilangan jabatan, bahkan kehilangan segalanya karena : MARAH.
Jadi kalau anda menghadapi gangguan, baik itu batu kecil atau batu besar, hadapilah dengan bijak, redam kemarahan sebisa mungkin, lakukan penundaan dua tiga detik dengan menarik napas panjang, kalau perlu pergilah ke kamar kecil, cuci muka atau basuhlah tangan dengan air dingin, atau bagi yang muslim berwudhu lalu menunaikan sholat sunat. Dengan harapan agar kemarahan anda mereda dan anda terlepas dari ancaman wajan panas yang bisa menghancurkan masa depan anda.
28 November 2008
Nasib Kepiting Yang Marah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar